
Bank Sentral Jepang (BoJ) melonggarkan kebijakan Yield Curve Control (YCC) hingga ke batas 1,00%. Kebijakan tersebut diperkirakan akan membuat investor Jepang memilih menarik dananya dari luar negeri dan memilih mengincar obligasi Negeri Sakura.
Kebjakan baru tersebut diumumkan BoJ pada Jumat pekan lalu. BoJ masih mempertahankan suku bunga rendahnya di minus (-) 0,1%, tetapi kebijakanyield curve control(YCC) diperlebar menjadi 50 basis poin dari sebelumnya 50 basis poin (0,50%) menjadi 100 basis poin (1,00%).
YCC merupakan kebijakan BoJ yang menahan imbal hasil (yield) obligasi tenor 10 tahun dekat dengan 0%. Ketika yield mulai menjauhi 0% maka BoJ akan melakukan pembelian obligasi.
Dengan memperlebar YCC, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil. Di sisi lain, yield akan bergerak mendekati pasar karena tidak terlalu ditahan oleh BoJ.
Yield atau imbal hasil pemerintah Jepang tenor 10 tahun melonjak ke 0,604% kemarin. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak 16 Juni 2014 atau sembilan tahun terakhir.
Kini dengan YCC diperlebar menjadi 50 basis poin, kebijakan BoJ menjadi lebih fleksibel, likuiditas yang disuntikkan ke perekonomian menjadi lebih kecil atau dengan kata lain tidak sebesar ketika YCC sebesar 0,5%.
Jepang sebagai negara maju menjadi negara yang sangat dicermati pelaku pasar, khususnya perihal kebijakan suku bunga maupun obligasi.
Sebagai negara maju, rating yang tinggi, dan risiko yang kecil menyebabkan maka setiap kenaikan yield obligasi akan menarik pelaku pasar.
Kenaikan yield obligasi pemerintah Jepang bisa berdampak kepada minat investor Jepang dalam membeli obligasi negara lain, termasuk Surat Berharga Negara (SBN).
Padahal, Jepang adalah salah satu investor terbesar bagi SBN atau kreditur pinjaman luar negeri Indonesia.
Pemerintah bahkan menerbitkan samurai Bond untuk menarik minat investor Jepang. Samurai bond yang mengincar investor Jepang sudah dijual sejak 2009.
Pada 2022, pemerintah Indonesia menerbitkan samurai bond, surat utang berdenominasi yen sebesar 81 miliar yen atau US$ 625,3 juta atau Rp 9,1 triliun
Data Bank Indonesia menunjukkan Jepang menjadi salah satu kreditur terbesar pada 2021 hingga sekarang.
Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) pada 2021 mencatat utang luar negeri Indonesia mencapai sebesar US$211,290 miliar.
Pinjaman dari Singapura sebesar US$61,153 miliar, sebesar US$31, 908 miliar datang dari kreditur AS, dan sebesar US$26,97 miliar dari kreditur Jepang.
Sedangkan pada 2022, terjadi penurunan jumlah utang luar negeri (ULN) yakni dengan total US$205, 52 miliar dengan kenaikan tipis dari AS menjadi sebesar US$32, 77 miliar. Penurunan tipis oleh Jepang menjadi US$24, 33 miliar serta Singapura menjadi US$59, 37 miliar.
Pinjaman dari Jepang kembali menurun menjadi US$ 23,05 miliar pada Mei 2023.
Dilansir dari CNBC International, Jepang diharapkan segera bertransisi ke “new normal” karena rezim kebijakan suku bunga ultra rendah negara saat ini “tidak tepat” dan “sangat berbahaya” bagi perekonomian.
Bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga secara agresif untuk mengendalikan inflasi, tetapi Jepang mempertahankan suku bunga acuannya di -0,1% sejak 2016.
Alhasil, nilai tukar Yen Jepang terhadap dolar AS pun ikut terpuruk. Penurunan Yen merupakan yang paling parah jika dibandingkan dengan dolar AS, dolar Singapura, dolar Kanada, euro, Franc Swiss, dan pound British.
Per 1 Agustus 2023, nilai tukar yen terhadap dolar AS melemah sebesar 8,10% menjadi 0,700. Pelemahan beruntun ini terjadi sejak awal 2021 dan hingga saat ini Yen masih terpuruk melawan dolar AS.
Dalam acara Squawk Box Asia, CNBC (Senin, 31/7/2023) Ahli Strategi Investasi Global TD Epoch, Kevin Hebner mengatakan semakin cepat BoJ bergerak ke struktur yang lebih normal dan membiarkan pasar obligasi maka pasar ekuitas akan melakukan pekerjaan yang perlu mereka lakukan.
“Itu semakin baik bagi pasar keuangan,” tutur Hebner, dikutip dari CNBC International.
Hebner mengatakan Gubernur Kazuo Ueda “pasti tahu” bahwa Jepang perlu menormalkan kebijakannya.
“Tetapi dia juga tahu bahwa transisi harus cukup lambat untuk memberi rumah tangga dan perusahaan waktu untuk menyesuaikan diri dengan new normal” imbuhnya.
BoJ pun tidak menegaskan bahwa mereka telah melakukan shifting kebijakan dari dovish ke netral. BoJ mengatakan, dengan membuat YCC lebih fleksibel, maka keberlanjutan kebijakan moneter Jepang akan berjalan sesuai target.
Hebner memperkirakan BoJ akan terus mengerek YCC, dari 100 bps saat ini bisa menjadi 150 bps.
“Saya pikir ketika kita beralih ke new normal, ada sinyal bahwa imbal hasil obligasi pemerintah Jepang jangka panjang akan jauh lebih tinggi – tidak hanya 58 bps, tetapi katakanlah 125 hingga 150 basis poin. Saya pikir, 125 bps adalah perkiraan yang masuk akal untuk keseimbangan selama satu hingga dua tahun ke depan,” kata Hebner.
https://twitter.com/CapitalBridgeId
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/research/20230801171111-128-459252/boj-punya-senjata-baru-investor-jepang-bisa-lari-dari-ri