Perubahan iklim menjadi musuh negara-negara di dunia, siapa sangka bahwa perubahan iklim yang dulunya kerap dianggap ‘mitos’ oleh banyak orang kini mulai menunjukkan dampak yang tak bisa dianggap remeh. Sebab itu, Indonesia beserta negara global punya komitmen terkait hal ini. Apa itu? Bagaimana upaya mereka terutama di Indonesia?

Perubahan iklim yang terjadi akan memberikan dampak buruk terhadap ekosistem kehidupan, keragaman hayati (biodiversity) hingga keberlangsungan hidup manusia dan produksi makanan. Kenaikan suhu di permukaan bumi akan menimbulkan berbagai bencana seperti kebakaran lahan, kekeringan, hingga mencarinya es di kutub.

Untuk itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations melalui United Nations Framework Conventions of Climate Change telah menyeragamkan aksi dari seluruh negara di dunia dengan membuat sebuah perjanjian untuk menekan produksi emisi karbon. Perjanjian ini ditanda-tangani oleh 195 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia, di Kota Paris, Prancis pada tanggal 23 April Tahun 2016 lalu.

Perjanjian inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Paris Agreement. Perjanjian ini meminta agar setiap negara anggota PBB untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca.

Hingga kini, pemerintah Indonesia terus melakukan upaya untuk memenuhi komitmen nasionalnya soal perubahan iklim. Babak baru tampak akan dimulai setelah bursa karbon bukan hanya ucapan belaka. Rencana sudah ada di depan mata.

Beroperasinya bursa karbon yang akan memberikan insentif bagi industri, bisnis, maupun entitas lainnya bila berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca mereka.Beroperasinya bursa Ini juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk berkontribusi pada upaya global untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 45% tahun 2030 dan pada akhirnya menjadi nol pada tahun 2050.

Untuk diketahui, menurut data Climate Watch, pada 2020Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,48 miliar ton/gigaton ekuivalen karbon dioksida (Gt CO2e). Angka ini setara dengan 3,1% dari emisi gas rumah kaca global dimana total volumenya mencapai 47,5 Gt CO2e.

Kendati angka persentasenya kecil, emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2020 merupakan yang terbesar ke-6 di dunia, setelah China, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, dan Rusia.

Emisi karbon adalah penyebab terbesar dari perubahan iklim dunia. Dengan demikian, semakin banyak gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer artinya akan membuat semakin besar penyerapan energi panas matahari yang disalurkan ke permukaan bumi sehingga mengakibatkan terjadi kenaikan suhu di permukaan bumi secara global.

Kondisi Polusi di wilayah Jakarta dan sekitarnya sepanjang bulan Agustus 2023 dikategorikan dalam kelompok “sangat berbahaya”. Ini meyakinkan kita bahwa “kita ini harus segera berpindah alias transisi”.

Melansir pada laporan Kementerian Keuangan dengan tajuk “The Future of the Green Investment” menyebutkan bahwa penyebab utama dari kondisi ini, dari berbagai opini kementerian maupun politikus, belum dapat disimpulkan secara jelas.

Namun rangkaian kondisi lingkungan seperti El Nino, ditambah polusi dari jumlah kendaraan yang ada di Jakarta dan sekitarnya, ditengarai sebagai penyebab utama yang mendorong buruknya kualitas udara Jakarta. Namun sebenarnya, dari perspektif umum, kondisi ini lebih disebabkan karena masyarakat Jakarta kurang memiliki tanggung jawab untuk menjaga Jakarta.

Salah satu solusi yang didorong oleh pemerintah, melalui Kementerian Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), adalah mendorong percepatan penggunaan kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) khususnya mobil listrik, dan mempersulit pembelian mobil jenis combustion atau Berbahan Bakar Minyak (BBM). Dorongan ini, selain mendapat pertentangan dari berbagai pihak khususnya politikus, juga mendapat perlawanan dari pengguna kendaraan, khususnya dikarenakan environment penggunaan kendaraan EV belum siap 100%.

Sementara pemerintah memiliki target bauran EBT pada 2025 mencapai 23%. Mungkinkah bisa terwujud? Ataukah hanya angan belaka? terlebih tinggal menghitung hari saja capaian ini harus terealisasi.

Jika melihat data dari Handbook of Energy & Economic Statistic of Indonesia 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, realisasi bauran EBT tahun 2021 sebesar 12,2%. Meskipun dalam tren yang meningkat, tapi masih jauh dari target.

Dengan capaian tersebut, Indonesia memiliki waktu kurang lebih 3 tahun untuk mencapai targetnya. Dengan demikian, pertanyaan kembali muncul: tanggung jawab ini merupakan beban dan tugas siapa? Khususnya dalam menghadapi persaingan antar kota dan antar negara dengan standar investasi baru dengan standar ESG baru.

Bagaimana Jakarta bahkan Indonesia seharusnya membayar emisi karbon yang diproduksinya kepada daerah lain sebagai kompensasi polusi yang ditimbulkannya? Pertanyaan ini menjadi hal yang sangat krusial dalam memberikan peta strategi kebijakan carbon trading di masa depan.

Pemerintah Indonesia melalaui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada saat itu, Dr. Siti Nurbaya, mewakili Presiden Republik Indonesia juga ikut menandatangani Perjanjian Paris (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016). Untuk menindaklanjuti Perjanjian Paris ini, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi perjanjian paris yakni dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Kemudian, di dalam Penjelasan UU HPP disebutkan bahwa Pemerintah Indonesia akan mulai mengenakan pajak karbon sejak tahun 2022 untuk memenuhi komitmen Indonesia yang dibuat melalui Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2016 lalu.

Di dalam Perjanjian Paris, Indonesia telah menyatakan sebuah proposal atau janji dimana Indonesia akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030, dengan basis emisi gas rumah kaca tahun 2010, dengan upaya sendiri, dan akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 41% jika dibantu oleh negara lain.

Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pengenaan pajak karbon diberlakukan bukan tanpa alasan, melainkan didukung oleh dasar yang sangat kuat, yakni untuk menekan emisi karbon dan untuk mempertahankan keberlangsungan makhluk hidup di bumi serta sekaligus untuk memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi isu lingkungan.

Penerapan pajak karbon telah diatur di dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 06 Oktober tahun 2021 lalu.

Penerapan pajak karbon ini diharapkan mampu menjawab isu perubahan iklim yang telah mengakibatkan banyak masalah terhadap berbagai negara di dunia, yakni dengan menekan dan mengurangi produksi emisi karbon dari Indonesia.

Kemudian bursa karbon merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon atau catatan kepemilikan Unita Karbon. Di Indonesia, Bursa Karbon ini akan resmi diluncurkan pada 26 September 2023.

Sebelum peluncuran dilakukan, saat ini OJK dan semua jajaran terkait tengah mempersiapkan untuk peningkatan kapasitas hingga pemahaman terhadap ekosistem perdagangan karbon yang cenderung baru di Indonesia.

Lantas Bagaimana Praktek Bursa Karbon?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (SEOJK 12/2023) sebagai aturan teknis dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14 Tahun 2023.

melalui Bursa Karbon tersebut, Indonesia mampu mengambil peran lebih besar dalam upaya pengendalian dampak perubahan iklim secara global.

Platform perdagangan karbon yang sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2022 ini akan memainkan peran penting mengingat Indonesia merupakan negara yang hampir 70% pemenuhan pengurangan emisi karbonnya berbasis pada sektor alam.

OJK akan menetapkan allowance atau kredit karbon di mana alokasi kuota emisi karbon yang ditetapkan tahunan pada awal periode bagi setiap peserta pasar. Satu kredit karbon setara dengan pengurangan atau penurunan emisi sebesar satu ton karbon dioksida.

Peserta bursa diwajibkan melaporkan emisi yang dihasilkan secara berkala dan mereka yang melebihi batas emisinya bisa membeli kuota tambahan dari peserta lain yang berhasil menghasilkan emisi lebih sedikit. Hampir semua kegiatan manusia akan menghasilkan karbon dioksida, gas yang berkontribusi kepada efek rumah kaca yang meningkatkan panas di bumi dan mengakibatkan perubahan iklim.

Menurut OJK ada beberapa skema dalam bursa karbon, apa saja?

Dalam penyelenggaraan bursa karbon di Indonesia, akan ada dua jenis produk yang diperdagangkan. Keduanya adalah Persetujuan Teknis Batas atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) serta Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK).

Harus kita akui, bahwa di Indonesia masih banyak industri yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti batu bara atau minyak. Hal ini tentu jadi catatan khusus agar upaya mendorong produktivitas industri domestik jangan sampai memberikan dampak serius terhadap lingkungan.

Jika tidak ada upaya yang signifikan maka Indonesia bisa terkena sendiri dampaknya. Penerapan pajak karbon yang kini sedang direncanakan secara global dipastikan akan berpengaruh kepada persaingan produk Indonesia.

Artinya, apa jadinya negara-negara kalau ketinggalan dalam mengurangi emisinya. Akibatnya industri yang menggunakan energi fosil akan terkena pajak. Itu akan menyebabkan tidak kompetitifnya produksi kita di pasar internasional.

Perlu diketahui tantangan penerapan bursa karbon ini sangat berat. Untuk Indonesia, bursa karbon ini adalah permulaan dari langkah besar. Maka dari itu, peningkatan kapabilitas, memperdalam pemahaman para pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap regulasi serta mekanisme perdagangan karbon menjadi keharusan yang harus dilakukan.

Bursa karbon ini akan memperkuat ekosistem pengurangan emisi karbon di Indonesia sebagai wujud upaya nyata untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan. Perdagangan karbon ini juga turut mendukung mekanisme pembiayaan berkelanjutan menuju ekonomi rendah karbon.

Pajak karbon bukanlah pajak yang baru. Sebelum Indonesia telah banyak negara-negara lain yang telah mengenakan pajak karbon. Finlandia adalah negara pertama di dunia yang mengenakan pajak karbon, tepatnya sejak tahun 1990 dan kemudian diikuti oleh 16 negara Eropa lainnya.

Inilah daftar negara yang sudah menerapkan bursa karbon.

Kementerian Keuangan mengungkapkan penerapan pajak karbon belum diperlukan saat ini. Hal ini mengingat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan meluncurkan bursa karbon pada 26 September 2023.

Perdagangan di bursa karbon nantinya tidak memerlukan pajak karbon. Saat ini aturan pajak karbon sedang disiapkan peta jalannya (roadmap).

Harga karbon nantinya tergantung pada mekanisme pasar, di mana ada permintaan dan penawaran. Mekanisme pasar inilah yang menggambarkan minat global jika ingin berpartisipasi mengurangi emisi di Indonesia.

https://twitter.com/CapitalBridgeId

Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/research/20230922081847-128-474627/bursa-karbon-ini-bukti-komitmen-ri-pada-perubahan-iklim

0 0 votes
Stock Rating