Sejak kemarin soal migas tengah ramai diperbincangkan pasca Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan kembali merevisi Peraturan Menteri ESDM (Permen) Nomor 8 tahun 2017 perihal skema kontrak bagi hasil Gross Split hulu minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. se-urgent apa revisi ini? Apakah akan merubah banyak hal?
Sebagaimana diketahui, potensi minyak dan gas bumi (migas) yang ada di tanah air sangat berlimpah. Bahkan, dalam catatan Aspermigas, cadangan minyak di Indonesia mencapai 4,2 miliar barel pada 2022.
Bahkan, selama periode 2020-2021negara-negara ASEAN telah membuat kesepakatan pembiayaan internasional untuk megaproyekmigas dengan nilai total US$17,1 miliar.
Di sisi lain, pemerintah mempunyai cita-cita untuk produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 miliar gas standar kaki kubik per hari (bscfd) pada 2030 mendatang. Namun di sisi lain kondisi produksi migas nasional dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan.
Lihat saja, realisasi produksi minyak siap jual atau lifting 2022 yang belum sesuai target sudah sesuai prediksi. Mengingat penurunan produksi secara alamiah terus terjadi.
Dengan demikian, tentu pemerintah sudah melakukan sejumlah upaya untuk menaikkan lifting migas, salah satunya dengan menambah pengeboran sumur secara masif di sekitar lapangan migas yang sudah ada.
Pekembangan Kontrak Aturan Migas di Indonesia
Jika melihat perkembangannya, kontrak ini memang beberapa kali mengalami perubahan dengan harapan agar tujuan kontrak Gross Split dapat dicapai yaitu menciptakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan bisnis penunjangnya menjadi global dan kompetitif, serta mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi yang lebih efektif dan cepat.
Mengingat lagi ke belakang, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tanggal 29 Agustus 2017 telah menetapkan Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Lantas Apasih Sebetulnya Gross Split? Apa Tujuannya Diberlakukan 2017 Lalu?
Kita flasback sedikit ke belakang, aturan ini dibentuk demi mewujudkan energi yang berkeadilan di Indonesia. maka dari itu, hardir lah skema Gross Split, untuk perhitungan bagi hasil kontrak pengelolaan wilayah kerja Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia.
Skema Gross Split adalah skema dimana perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara Pemerintah dan Kontraktor Migas diperhitungkan dimuka.
Melalui skema Gross Split, Negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan Negara menjadi lebih pasti.
Negara pun tidak akan kehilangan kendali, karena penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil masih di tangan Negara. Oleh karenanya, penerapan skema ini diyakini akan lebih baik dari skema bagi hasil sebelumnya.
Bagaimana perhitungan Skema Gross Split? Perhitungan Gross Split akan berbeda-beda setiap wilayah kerja. Perhitungan yang pasti, terdapat pada persentase Base Split. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian Kontraktor.
Sementara untuk gas bumi, bagian Negara sebesar 52% dan bagian Kontraktor sebesar 48%. Disamping persentase Base Split, baik Negara dan Kontraktor dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 Komponen Variabel dan 2 Komponen Progresif lainnya.
Hal ini membuat skema Gross Split menarik bagi para investor untuk mengelola wilayah kerja migas, termasuk wilayah kerja non-konvensional yang memiliki tantangan lebih besar.
Lalu apa yang membedakan skema Gross Split dengan skema Cost Recovery yang sebelumnya berlaku?
Tren cost recovery relatif meningkat tiap tahun. Cost recovery pada tahun 2010 sekitar US$ 11,7 miliar dan meningkat menjadi US$ 16,2 miliar pada tahun 2014. Meskipun berdasarkan data tahun 2015 dan 2016 (unaudited), besaran cost recovery sempat menurun menjadi US$ 13,7 miliar dan US$ 11,5 miliar akibat rendahnya harga minyak dunia.
Pada tahun 2016, penerimaan migas bagian Pemerintah hanya sebesar US$ 9,9 miliar atau lebih rendah dibanding cost recovery yaitu sekitar US$ 11,4 miliar. Kondisi lebih besarnya cost recovery dibanding penerimaan bagian negara terjadi sejak tahun 2015.
Oleh sebab itu, dengan skema Gross Split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan Pemerintah. Kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab Kontraktor. Semakin efisien Kontraktor maka keuntungannya semakin baik.
Aturan Gross Split Direncanakan Bakal Rirombak Lagi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah merevisi skema kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) Gross Split menjadi New Simplified Gross Split PSC.
Dalam catatan CNBC Indonesia, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, urgensi pemerintah merombak Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split yaitu untuk mengakomodir kebutuhan pengembangan MNK.
Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa untuk meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu migas perlu mengatur kembali ketentuan-ketentuan pokok yang diberlakukan dalam kontrak bagi hasil Gross Split sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil.
Seiring dengan berjalannya waktu, kini aturan era Menteri yang lama tengah direvisi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini tengah merevisi skema kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) Gross Split menjadi New Simplified Gross Split PSC.
Lantas apa tujuannya? Tentu saja Ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menggenjot pengembangan migas non konvensional (MNK) di Indonesia.
Tujuan lain yang ingin dicapai adalah agar KKKS untuk lebih efisien sehingga mampu mengatasi gejolak harga minyak dari waktu ke waktu, mendorong bisnis proses KKKS dan SKK Migas menjadi lebih sederhana dan akuntabel.
Selain itu juga mendorong KKKS untuk mengelola biaya operasi dan investasinya dengan berpijak pada sistem keuangan korporasi, bukan sistem keuangan negara.
Lantas apakah urgen ditetapkan sekarang?
Pada dasarnya, tidak ada yang dirugikan dalam hal ini. Hanya saja kami melihat ini perbaikan dari waktu ke waktu saja.
Setidaknya, terdapat empat urgensi dalam penyempurnaan kontrak Gross Split: Pertama, memberikan kepastian nilai bagi hasil yang lebih kompetitif bagi KKKS. Kedua, meminimalisir ketergantungan keekonomian KKKS terhadap tambahan split diskresi Menteri.
Ketiga, simplifikasi dan penyempurnaan komponen dan parameter bagi hasil. Penyederhanaan jumlah komponen bagi hasil berdasarkan parameter teknis yang tidak menimbulkan perdebatan dalam penentuan dan efektif penerapannya.
Pemilihan didasarkan pada parameter primer yang memberikan koreksi split utama pada kontrak Gross Split eksisting.
Keempat, perancangan kebijakan fiskal yang cocok untuk Migas Non Konvensional (MNK). Perancangan kebijakan fiskal untuk pengusahaan migas non konvensional. Pemberian skema baru kontrak GS bagi hasil tetap (fixed split) terhadap profil risiko, kebutuhan teknologi baru, dan penekanan biaya pengusahaan Migas Non Konvensional.
Pemerintah menyeimbangkan bagi hasil antara Pemerintah dengan KKKS agar lebih menarik. Base split minyak bumi diubah menjadi 53% Pemerintah dan 47% KKKS. Sedangkan untuk gas bumi, base split-nya adalah 51% Pemerintah dan 49% KKKS.
Pada aturan yang lama, base split minyak bumi adalah 57% Pemerintah 43% KKKS, sedangkan gas bumi 52% Pemerintah dan 48% KKKS.
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/research/20230524115541-128-440102/rombak-rombakan-aturan-migas-bakal-nguntungin-siapa