
Foto: Katoda Tembaga di Escondida, Chile. (Getty Images/Sascha Schuermann)
Harga komoditas seperti minyak mentah dan bijih besi merosot tahun ini, menandai lesunya ekonomi dan risiko resesi global.
Komoditas global sudah anjlok lebih dari 25% selama 12 bulan terakhir sebagaimana tercermin dalam indeks Komoditas S&P GSCI, yang merupakan tolok ukur yang mengukur kinerja berbagai pasar komoditas secara umum.
Dari berbagai komoditas, logam industri turun 3,79% selama periode tersebut (per 30 Juni), sedangkan komoditas energi seperti minyak dan gas merosot tajam 23%. Sebaliknya, komoditas pertanian seperti biji-bijian, gandum, dan gula naik sekitar 11%.
Namun, menurut amatan analis kepada CNBC International, Rabu (5/7), penurunan indeks kemungkinan disebabkan oleh perlambatan ekonomi global dan resesi karena rebound pemulihan pasca-Covid-19 China yang kehilangan momentum.
“Bijih besi dan tembaga adalah barometer yang baik dari bagian ekonomi global yang sangat bersiklus, termasuk konstruksi dan manufaktur, yang mengalami resesi di banyak tempat,” kata Analis Komoditas Senior Kpler Reid I’Anson, dikutip CNBC International, Senin (5/7).
“Menurut saya, ini akan menjalar ke penurunan aktivitas ekonomi yang lebih luas, terutama di Barat,” tambah I’Anson.
Dia memperkirakan, AS kemungkinan akan mengalami kontraksi PDB pada kuartal keempat tahun ini atau kuartal pertama 2024, dan Eropa akan mengikutinya dalam tiga hingga enam bulan kemudian.
“Kegagalan ekonomi China untuk memenuhi ekspektasi pasar adalah alasan terbesar pasar komoditas berjuang untuk menemukan pijakan,” lanjut I’Anson.
China tercatat banyak merilis data ekonomi yang realisasinya lebih lemah dari ekspektasi pasar. Hal tersebut seiring pembukaan kembali ekonomi pasca pandemi Covid yang ‘lesu darah’ setelah bertahun-tahun lockdown yang ketat.
Analis Bank of America pun mengkonfirmasi, rebound ekonomi China lebih lemah dari yang diharapkan.
“Khusus untuk properti, investasi turun 7% year-on-year [secara tahunan/yoy],” kata Head of Asia-Pacific Basic Materials and Oil & Gas Research, Matty Zhao.
Penurunan pasar properti sering dikaitkan dengan penurunan permintaan bahan konstruksi seperti baja, aluminium, tembaga, dan nikel.
Merosotnya sektor real estat China diperkirakan akan berlangsung selama bertahun-tahun. Dan pemerintah China sepertinya tidak akan menggelontorkan paket stimulus fiskal yang agresif, kata I’Anson. Bahkan jika ya, kata dia, “Paket stimulus itu harus cukup besar untuk mengesankan pasar pada saat ini.”
Pecundang Terbesar
Sementara harga komoditas lunak naik karena El Niño yang mengganggu prospek hasil panen, komoditas energi dan logam industri melemah.
Di antara pecundang terbesar dari penurunan komoditas adalah bijih besi dan minyak.
Kpler juga menyebut prospek tembaga suram, yang kerap dianggap sebagai proksi ekonomi seiring berbagai kegunaannya dalam produksi peralatan listrik dan mesin industri.
Harga minyak turun secara signifikan, dengan minyak jenis Brent anjlok 34,76% yoy, bahkan ketika pengurangan produksi OPEC ikut berperan.
Lemahnya konsumsi energi di Eropa, sebagian karena musim dingin yang terbilang hangat, telah menyebabkan stok gas melonjak ke level tertinggi lima tahun terakhir di Uni Eropa (UE), dan menekan harga komoditas tersebut.
Selain itu, China, importir minyak terbesar di dunia, malah meningkatkan produksi batu bara di tengah krisis listrik.
Meskipun demikian, menurut perkiraan Zhao, jika terjadi peristiwa cuaca dingin yang ekstrem, harga energi dapat pulih pada paruh kedua tahun ini.
Lebih lanjut, BofA menyebut, rata-rata harga baja dan bijih besi ambles 16% yoy, imbas permintaan konstruksi yang lesu. Permintaan konstruksi yang lemah juga tercermin pada bahan bangunan lain seperti semen, yang tingkat persediaannya mencapai 75%.
Adapun, bijih besi terutama digunakan untuk membuat baja, bahan utama dalam proyek konstruksi dan teknik.
“Secara umum, banyak komoditas utama merosot selama beberapa bulan terakhir karena perusahaan dan konsumen mengurangi permintaan menjelang potensi penurunan ekonomi,” kata Direktur Komoditas dan Aset Riil di Indeks S&P Dow Jones, Jim Wiederhold.
Komoditas juga cenderung bergerak seiring dengan perubahan inflasi, lanjut Wiederhold. Dan jika inflasi terus turun, pasar komoditas bisa melihat lebih banyak penurunan dalam jangka pendek.
Sedangkan, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), inflasi utama global berpotensi turun dari 8,7% pada 2022 menjadi 7% pada 2023.
https://twitter.com/CapitalBridgeId
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/market/20230706154832-17-451967/tanda-bahaya-ekonomi-dunia-komoditas-global-anjlok